Selasa, 06 Maret 2018

MENGENAL PENYAKIT SURRA


Trypanosomiasis atau Surra adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh agen Trypanosoma evansi dan ditularkan melalui gigitan lalat penghisap darah (haematophagus flies). Agen T. evansi telah tersebar luas di kawasan Asia Tenggara, Afrika dan Amerika Selatan (Jones TW et al.,1996 ; Powar RM et al., 2006). Pada wilayah yang berbeda tersebut, parasit ini dapat menyerang berbagai spesies hewan. Di Amerika Selatan, kasus penyakit Surra paling sering ditemukan pada kuda. Hewan yang terinfeksi di Cina umumnya kuda, kerbau, dan rusa. Di Timur Tengah dan Afrika parasit ini menyerang unta, dan di Asia Tenggara penyakit Surra dapat ditemukan pada kuda, sapi, dan kerbau.


Trypanosoma evansi diperkirakan masuk ke Asia Tenggara melalui ternak impor asal India (Payne et al., 1991). Kasus penyakit Surra pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1897 pada populasi kuda di Pulau Jawa. Selanjutnya wabah Surra dilaporkan terjadi pada sapi dan kerbau di Jawa Timur.

Penyebab 
Penyakit Surra disebabkan oleh protozoa yang merupakan parasit darah, yaitu Trypanosoma evansi. Parasit ini dapat ditemukan di dalam sirkulasi darah pada fase infeksi akut. T. evansi memiliki ukuran panjang 15 to 34 μm dan dapat membelah (binary fission) untuk memperbanyak diri. Bentuknya yang khas seperti daun atau kumparan dicirikan dengan adanya flagella yang panjang sebagai alat gerak. Di bagian tengah tubuh terdapat inti. Salah satu ujung tubuh berbentuk lancip, sedangkan ujung tubuh yang lain agak tumpul dan terdapat bentukan yang disebut kinetoplast. 

Sifat Agen 
Trypanosoma evansi merupakan parasit yang bersirkulasi dalam sistem peredaran darah. Parasit ini mengambil glukosa sebagai sumber nutrisinya sehingga apabila hewan terinfeksi tidak memperoleh asupan nutrisi yang baik maka akan terjadi penurunan kadar gula dalam darah. Kemampuan T. evansi menghasilkan racun (trypanotoxin) dan melisiskan sel darah merah akan berujung kepada kondisi anemia pada hewan inang (host). T. evansi tidak mampu bertahan hidup lama, baik di lingkungan maupun pada bangkai hewan (OIE, 2009). Parasit ini hanya mampu hidup kurang dari 1 jam di dalam karkas pada temperatur ruang. Di lingkungan, ekspos terhadap sinar matahari selama 30 menit akan mematikan trypanosoma. Pada peralatan yang terkontaminasi darah segar, trypanosoma dapat bertahan dalam waktu singkat, kemudian mati setelah darah menjadi kering.

Kondisi imunosupresi 
penurunan daya tahan tubuh yang parah dapat terjadi pada infeksi olehagen Trypanosoma evansi. Akibatnya hewan inang menjadi lebih rentan terhadap infeksi sekunder. Respon imun tubuh inang untuk membentuk antibodi pasca vaksinasi juga mengalami penurunan. Program vaksinasi penyakit viral atau bakterial pada hewan yang terinfeksi T. evansi harus ditunda hingga kondisi ternak membaik setelah diberikan pengobatan trypanosidal.

Gejala Klinis 
Gejala klinis yang tampak pada hewan bervariasi tergantung pada keganasan/virulensi agen T. evansi, jenis hewan (host) yang terinfeksi dan faktor lain yang dapat menimbulkan stress. Lama waktu antara awal infeksi dan munculnya gejala klinis (masa inkubasi) bervariasi, rata – rata 5 sampai 60 hari pada infeksi akut. Akan tetapi penyakit Surra umumnya berlangsung kronis (chronic infection) dengan angka kematian yang rendah sehingga pernah dilaporkan masa inkubasi yang lebih lama yaitu 3 bulan. Setelah masa inkubasi, dalam waktu kurang dari 14 hari akan ditemukan parasit yang beredar dalam sirkulasi darah (parasitemia). Manisfestasi klinis penyakit Surra dapat berupa gejala demam berulang (intermiten) akibat parasitaemia. Parasitemia sangat tinggi variasinya selama masa infeksi: tinggi pada awal infeksi, rendah selama infeksi berjalan kronis dan hampir tidak ada pada hewan pembawa agen (carrier). 
Gejala lain diantaranya penurunan berat badan, pembengkakan limfonodus prescapularis kiri dan kanan, kelemahan otot tubuh, oedema pada anggota tubuh bagian bawah seperti kaki dan abdomen, urtikaria pada kulit, perdarahan titik (petechial haemorrhages) pada membran serous kelopak mata, hidung dan anus, keguguran (abortus), dan gangguan syaraf. Penurunan imunitas tubuh (imunosupresi) juga ditemui sehingga hewan inang menjadi rentan terhadap infeksi sekunder.

Patologi Anatomi 
Pada pemeriksaan pasca hewan mati (post-mortem examination), perubahan patologi anatomi yang ditemukan umumnya tidak spesifik. Pada hewan yang mati dapat diamati kondisi kekurusan (emaciation), perdarahan titik (petechial haemorrhages) pada beberapa organ internal, penumpukan cairan abnormal baik pada rongga dada (hydrothorax) maupun pada rongga perut (ascites), kelenjar pertahanan/limfonodus dan organ limpa tampak lebih besar daripada ukuran normal (lymphadenopathy dan splenomegaly).

Pengujian Laboratorium 
Dikarenakan gejala klinis infeksi T. evansi tidak bersifat khas (patognomonis), maka pemeriksaan gejala klinis sebaiknya juga ditunjang dengan pengujian di laboratorium untuk konfirmasi agen penyebab. Uji parasit, uji serologi dan uji molekuler merupakan teknik pengujian yang digunakan untuk diagnosis konfirmatif di laboratorium. Uji parasit diantaranya pemeriksaan haematologi (mikroskopik), microhematocrit centrifugation technique (MHCT) dan mouse inoculation test (MIT). Uji serologi dapat dilakukan dengan metode card agglutination test for trypanosomes (CATT) dan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), sedangkan uji molekuler menggunakan polymerase chain reaction (PCR).

Pengambilan dan Pengiriman Sampel 
Untuk keperluan pengujian laboratorium, sampel yang dapat diambil antara lain sampel darah utuh (dengan heparin atau EDTA), ulas darah, serum, sampel jaringan (misalnya otak, jantung, paru-paru, limpa, sum-sum tulang) yang difiksasi dalam formalin. Sampel darah diperoleh dari pembuluh vena perifer antara lain vena pada bagian telinga atau ekor. Pengambilan sampel darah sebaiknya dilakukan pada saat hewan mengalami demam dimana pada saat itu terjadi parasitemia tinggi di dalam sirkulasi darah. Sedangkan untuk pemeriksaan serologis, sampel darah dapat diambil dari pembuluh vena besar seperti vena pada daerah leher (vena jugularis). Sebelum pengambilan sampel darah, dipastikan dulu bahwa ujung jarum suntik telah disterilkan dengan alkohol. Pengambilan darah disarankan menggunakan satu suntikan (syringe) atau satu tabung koleksi darah (blood collection tube) untuk satu ekor hewan untuk mencegah penularan silang. Sampel darah utuh dan sampel serum harus disimpan pada suhu dingin (4oC) di dalam wadah yang tertutup rapat dan terlindung dari cahaya dan pada saat pengiriman jangan dibekukan (frozen). Parasit T. evansi dapat bertahan selama 48 jam di dalam sampel darah pada suhu dingin (refrigerated blood) selama 48 jam (Reid et al., 2001). Preparat ulas darah dapat disimpan pada suhu ruang di dalam wadah kantong plastik. Dalam hal pengiriman, semua sampel harus menggunakan wadah yang tidak bocor (leakproof containers) dan tetap menggunakan prinsip rantai dingin (cold chain). Setiap sampel yang dikirimkan ke laboratorium harus disertai dengan keterangan yang memadai. 

 PENGENDALIAN PENYAKIT SURRA 
Upaya yang perlu dilakukan untuk pengendalian terhadap penyakit Surra yaitu dengan menekan vector lalat Tabanus di sekitar kandang ternak. Cara efektif adalah menjaga lingkungan kandang tetap bersih dari limbah pakan ternak yang menumpuk disekitar kandang dan melakukan control lalat dengan obat anti lalat. Obat anti lalat yang beredar di pasaran antara lain Gusanex, Ralat, dll. Tindakan pencegahan dan pengobatan terhadap penderita Surra dengan preparat obat Naganol, Surramin (tidak beredar lagi di Indonesia) Triponyl, Trypamidium, Vetquin. Agar efektif pengobatan kasus positif Surra dilakukan pengobatan 2(dua) kali interval 1 minggu dan untuk pencegahan dapat dilakukan pengobatan 1 (satu) kali di lingkungan ternak yang ada kasus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ANTRAKS

B. anthracis  adalah bakterium pertama yang ditunjukkan dapat menyebabkan penyakit. Hal ini diperlihatkan oleh Robert Koch pada tahun 1877...